Pada tahun 1998, Indonesia terkena dampak krisis moneter yang meluas, memicu kekacauan sosial yang tidak terelakkan. Komunitas Tionghoa, yang sudah lama menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia, menjadi salah satu sasaran dalam kekerasan yang terjadi selama periode tersebut.
Ketegangan ekonomi yang meningkat dan ketidakstabilan politik menjadi pemicu utama dari kerusuhan yang melibatkan penjarahan makam orang Tionghoa. Di tengah kekacauan tersebut, makam-makam di beberapa tempat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, menjadi sasaran penjarahan. Motivasi di balik tindakan ini bisa bervariasi, termasuk kebencian etnis, ketakutan, atau peluang ekonomi dalam situasi krisis.
Bagi komunitas Tionghoa di Indonesia, penjarahan makam ini bukan hanya menyebabkan kerugian materiil yang signifikan, tetapi juga trauma emosional yang mendalam. Peristiwa ini menjadi simbol dari kerapuhan harmoni antar-etnis di tengah tekanan sosial dan ekonomi yang sangat besar pada saat itu.
Pemerintah Indonesia berupaya untuk meredakan situasi dan mengembalikan ketertiban, tetapi bekas luka dari penjarahan makam ini tetap membekas dalam sejarah kolektif bangsa Indonesia. Ini adalah pengingat akan pentingnya pemeliharaan harmoni antar-etnis dan keamanan sosial dalam menghadapi tantangan ekonomi dan politik yang berat.